Gone With the Wind
Kau datang dan pergi secepat angin…
Dia seperti angin tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan. Dia seperti angin laut, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu siang. Juga seperti angin darat, yang bertiup dari darat kelaut diwaktu malam. Namun dia tak seperti angin fohn yang bisa mematikan tanaman. Diapun tak terkira, tak seperti angin munsoon. Tapi, dia selalu datang bersama angin dan pergi juga bersama angin. Angin yang membawa kesejukan, angin yang membawa ketenangan, angin yang membawa kehangatan, angin yang membawa kekuatan, bahkan angin yang menjadi candu.
Ya, candu. Canduku kepada angin. Bahwa, dimana ada angin disitupun dia berada.
***
Prolog
Kakinya kembali dijejakan diatas jembatan bambu sebuah sungai. Lembayung tengah merona, mengantarkan senja dan mulai menyibak tirai malam. Bulir kristal bening yang jatuh dipipinya belum mengering. Dia kemudian duduk ditepi jembatan bambu itu, mencelupkan kakinya dihamparan air sungai. Terasa dingin, namun tak membuat dia jerah, dan tetap bergeming mempertahankan posisinya itu.
“Kamu dimana Cakka? Kenapa hari ini tidak datang? Kamu sudah berjanji padaku,” Katanya pilu, suaranya terdengar setengah serak, bahkan terdengar seperti berbisik.
Angin sepoi malam membelai rambut hitam panjang miliknya. Sejenak matanya terpejam. Merasakan kesejukan diantara kesesakan didalam hatinya. Angin sepoi malam, mulai membelai indera penciumannya juga. Wangi yang dia kenali merasuki hidungnya. Segera dia berbalik seakan mengikuti belaian angin tadi.
“Aku takkan mungkin melupakanmu, aku bukan tipe orang pengingkar janji, aku pasti datang,” Sebuah suara menelusup ke indera pendengarannya. Suara yang menenangkan, suara yang ditunggunya sejak tadi.
“Selamat ulang tahun, Oik,” Katanya tersenyum hangat, anginpun terasa hangat. Puluhan fireflies berterbangan memacah senja yang telah berganti malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar