Minggu, 13 Mei 2012

Baby Proposal [One Shoot]

Baby Proposal

Prolog

Bruumm... Bruumm... Cakka meramas kuat gas cagiva-nya yang menimbulkan kebisingan di sekitarnya. Asap knalpot membuat polusi udara, namun dia tak peduli. Cagiva itupun melaju menyusuri jalanan dengan kecepatan tinggi, dan semakin tinggi. Dia sangat kesal, amarah di dalam dirinya berada pada titik puncak, darahnya sudah mendidih. Cakka merasa percuma memperjuangkan gadisnya itu, setelah segala upaya dilakukannya meyakinkan kedua orang tuanya terhadap gadisnya itu, dia malah menemukan pemandangan yang tidak mengenakan mata tadi. Gadisnya sedang 'berdua' dengan musuh bebuyutannya. Okay, mungkin kalau hanya berdua, Cakka tak akan semarah ini, tapi... You know-lah.
Cakka menyelip kendaraan secara sembarangan, melewati jalan-jalan dengan kecepatan diatas rata-rata. Bahkan, dia melewati jalan-jalan yang belum pernah di lewatinya. Tiba-tiba seekor kucing hendak menyebrang di sebuah jalan, membuat Cakka refleks membanting stir cagiva-nya. Niat hati ingin menghindar agar tidak menabrak kucing... Tapi...
BRUUUUKKK!!
Cakka malah menabrak seorang wanita...

***

1. The Beginning of Disaster

Ponsel Cakka berdering saat melangkah menyusuri halaman kampusnya. Segera ditengoknya layar ponselnya tersebut. Tertera  “Ayah memanggil” Cakka segera menekan tombol hijau pada ponselnya hendak mengangkat panggilan Ayahnya tersebut.
...Hallo...
...Hallo, Cakka cepat ke rumah sakit sekarang...
...Kenapa Yah? Sivia kritis lagi yah?...
...Bukan, dia sudah siuman, kamu cepat kemari...
...Oke, Cakka segera kesana...
Cakka segera mengakhiri sambungannya dan kembali ke M3 miliknya. Dia segera memacu M3-nya itu menuju sebuah rumah sakit yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusnya. Dia bergegas menuju ruang intensif rumah sakit tersebut. Di depan ruang intensif, Bundanya Cakka terlihat sedang menunggunya. Cakka segera menghampiri Bundanya itu.
“Cakka,” sapa Bundanya yang nampaknya khawatir.
“Ada apa Bun?,”
“Gawat Kka...ehm, Sivia, itu wanita yang kamu tabrak, sudah siuman, tapi...,” kata-kata Bunda Cakka menggantung.
“Tapi kenapa Bun?,” tanya Cakka sambil mengerutkan alisnya, dalam hati dia khawatir akan apa yang akan Bundanya sampaikan.
“Tapi...dia mau menuntut kamu,” kata Bundanya semakin terlihat panik.
“APA?!,” mata Cakka terbelalak.
“Kamu tenang dulu Kka,”
“Gimana bisa tenang Bun, masa Cakka mau dituntut sih? Padahal Cakka kan sudah bertanggung jawab membiayai rumah sakitnya, Bunda sama Ayah juga sudah menyelesaikannya dengan keluarga Sivia kan? Trus? Dia tidak bisa seenaknya dong menuntut Cakka,”
“Iya makanya kamu tenang dulu, tadi kita sudah menjelaskan pada Sivia, trus dia berterima kasih, tapi dia tetap mau menuntut kamu kalau kamu tidak menerima satu persyaratannya lagi,”
“Persyaratan apa Bun?,”
“Bunda juga tidak tahu, dia mau bicara langsung sama kamu, ayo masuk,” ajak Bunda Cakka.
Merekapun masuk ke dalam ruang intensif tersebut. Di dalam sudah ada Ayahnya Cakka, beserta seorang gadis seumuran Cakka. Itu Oik, adiknya Sivia, wanita yang di tabrak Cakka. Oik mewakili keluarga Sivia, dan Oik adalah satu-satunya keluarga Sivia. Dua bulan lalu mereka baru kehilangan kedua orang tua mereka dan suami Sivia dalam sebuah kecelakaan, waktu mereka akan menjalankan bisnis di luar kota. Sivia dan Oik waktu itu tidak ikut makanya mereka bisa lolos dari maut. Cakka mendekat ke arah mereka, tampak Sivia masih dengan alat bantu pernapasan. Dia terlihat lemah, tapi dia membuka matanya tanda dia sadar, sesekali mengerjapkan matanya.
“Oik... Lola mana?,” tanya Sivia dengan suara lemah.
“Di rumah kak...aku titip sama Mbok Sanah...aku kan tak mungkin bawa Lola kemari kak, kakak kangen yah sama Lola?,” Sivia mengangguk perlahan bulir air matanya jatuh membasahi pipinya.
Cakka agak bingung dengan yang terjadi di hadapannya. Dia berbisik dan bertanya pada Bundanya.
“Bun... Lola itu siapa sih? Bukannya keluarganya Sivia tertinggal Oik yah?,”
“Tadi Bunda sempat ngobrol sama Oik, ternyata Sivia itu punya anak yang baru berusia tiga bulan, nah Lola itu anaknya,”
“Oh,” Cakka mengangguk-angguk.
“Orang yang nabrak aku sudah datang Ik?,” tanya Sivia.
Oik menatap Cakka, Cakka agak mendekat dengan takut-takut diiringi anggukan Oik.
“Saya , aduh maaf banget, saya tidak sengaja,” sesal Cakka.
Sivia menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya, “Kamu pikir cukup hanya dengan minta maaf,”
“Saya rela melakukan apa saja yang anda mau, asal jangan depak saya ke penjara, plis jangan laporin saya ke polisi,” kata Cakka hopeless sekaligus takut.
“Kamu yakin? Mau melakukan apa saja?,” tanya Sivia nadanya terdengar melemah.
“Yakin...saya yakin,”
“Baiklah...,” Sivia terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya, “Oik, kamu segera panggil pengacara keluarga kita, Kakak mau mengajukan proposal untuk orang ini,” Sivia menatap Oik kemudian berpaling lagi menatap Cakka, “kamu mau kan kalau saya pakai proposal?,”
Dengan cepat Cakka mengangguk. Tidak ada pilihan lain selain setuju dengan apa yang Sivia katakan. Dia tak ingin masuk penjara. Apa kata dunia nanti? Cakka masih ingin menyelesaikan kuliahnya, Cakka masih ingin menikmati kebebasan hidupnya, Cakka masih ingin berlaku seperti pemuda pada umumnya. Dia tak mau terkekang di dalam penjara!
“Baiklah, nanti kalau sudah selesai proposalnya, kamu kembali lagi kemari,”

***

Sentakan kaki Cakka terdengar menyusuri koridor rumah sakit. Setelah beberapa hari yang lalu, sejak pertemuan Sivia dengan pengacara untuk mengatur proposal, tiba-tiba dia kritis lagi. Tadi Bunda Cakka telepon, bahwa Cakka harus segera ke rumah sakit. Walaupun sebenarnya tadi ada kelas, Cakka memutuskan untuk bolos. Dari nada Bundanya sepertinya dalam keadaan genting.
Tiba di depan ruang intensif, Cakka segera membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Ruangan sepi, yang terdengar hanyalah isak tangis seorang gadis di samping tempat tidur Sivia yang terbujur kaku. Itu tangisan Oik, di samping Oik ada seorang wanita paruh baya yang mengelus-ngelus punggungnya seraya menenangkan Oik sambil menggendong seorang bayi. Cakka terdiam sesaat di depan pintu, mencoba menyerap apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Perlahan-lahan terpekik dalam hatinya... ‘ya ampun’. Cakka bergeming di depan pintu, dia masih shock dengan apa yang terjadi. Ayah dan Bunda Cakka yang menyadari kehadiran Cakka segera berdiri dan mendekati Cakka. Ayahnya menepuk bahu Cakka.
Be a gentleman, kamu harus bertanggung jawab dengan semuanya ini,” kata Ayahnya.
“Tenang sayang, ingat masih ada proposal, Bunda harap apapun yang ada di proposal almarhumah Sivia kamu harus menyanggupinya, Bunda tak mau anak Bunda jadi seorang pengecut,” lanjut Bundanya.
Cakka mencoba menetralisir keterkejutan yang ada pada dirinya. Dia mencoba melangkah mendekati Oik, perlahan....dan perlahan, hingga tiba di samping Oik. Dia menatap Sivia yang sudah terbujur kaku lalu duduk di samping Oik, dan menatap gadis yang ada di sampingnya itu.
“Maaf,” kata itu saja yang bisa meluncur dari mulut Cakka.
Oik memalingkan pandangannya ke arah Cakka dan menatapnya dengan tatapan nanar. Membuat nyali Cakka semakin ciut, dia pasrah dengan apa yang akan di lakukan Oik padanya. Oik bisa menamparnya sesuka hati, bisa memukulnya juga, memakinya juga silahkan. Oik bebas melakukan apa saja padanya. Karena Cakka pikir dia memang seorang pembunuh yang telah membunuh kakaknya. Dia memang kejam. Sebisa mungkin dia membalas tatapan Oik bukan dengan tatapan menantang, melainkan rasa bersalah dari dalam hatinya.
Air mata Oik luruh, dia merasa orang yang paling mengenaskan sedunia. Dua bulan lalu dia kehilangan orang tuanya dan kakak iparnya, dan hari ini dia kehilangan kakak tercintanya. Terkadang sebagai manusia dia merasa bahwa Tuhan itu tidak adil di dalam hidupnya, namun dia tetap yakin bahwa rencana Tuhan itu, beautiful in it’s time. Dia merasa sendiri di dunia ini, setelah kakaknya pergi apa yang harus di lakukannya? Ayah dan Bundanya boleh mewariskan kekayaan yang tak akan habis sampai tujuh turunannya, tapi bukan itu yang dia mau. Dia menyadari, bahwa setelah ini tak akan lagi kehangatan keluarga seperti dulu, saat mereka semua masih ada di dalam dunia ini. Oik menatap lelaki yang ada di sampingnya waktu itu, dalam hatinya dia marah semarah-marahnya pada lelaki di hadapannya itu. Dia ingin menjambak rambut lelaki itu, ingin memakinya, ingin melihat dia hidup mengenaskan di dalam penjara. Tapi, tatapan lelaki itu begitu teduh, namun penuh penyesalan. Kata-kata yang Oik akan luncurkan tertahan di mulutnya. Di luar kendalinya, dia malah meraih lelaki itu dan memeluknya, menaruh kepalanya di pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Oik memang sedang butuh a shoulder to cry on, dia tak mungkin menangis di pundak Mbok Sanah yang sedang menggendong Lola. Lelaki di sampingnya inilah yang mungkin bisa menjadi a shoulder to cry on. Meski lelaki ini adalah pembunuh kakaknya.
Cakka kaget ketika Oik bukan menamparnya, bukan memakinya, ataupun memukulnya tapi malah memeluknya dan menangis di pundaknya. Air mata Oik membasahi kemeja yang Cakka kenakan. Isak tangisnya semakin menjadi. Cakka jadi bingung apa yang harus dilakukan kepada gadis yang sedang memeluknya ini. Dia mencoba mengangkat tangan kanannya dan membelai rambut Oik, lalu tangan kirinya mengusap punggung Oik. Lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Mungkin, jika dia berbicara akan membuat situasinya semakin parah. Wangi sampo Oik menari-nari di hidung Cakka yang berada begitu dekat dengan rambutnya.
Beberapa menit menangis di pundak Cakka, Oik mengangkat kepalanya dan beristirahat di dada Cakka. Isak tangisnya sudah berhenti tapi dia masih membutuhkan ketenangan. Dan lelaki ini memberinya ketenangan itu. Oik merasakan tangan Cakka berhenti mengusap punggungnya, dan membalas pelukan Oik itu. Oik menutup matanya, menarik napasnya panjang-panjang, sensasi benetton sport terasa di indera penciumannya. Biasanya Oik paling tidak menyukai wangi parfum cowok-cowok yang sampai menyesakkan hidungnya, tapi entah kenapa tidak begitu dengan Cakka.
Cakka menekan dagunya di puncak kepala Oik, sebelum mengeluarkan sebuah kalimat...
“Jangan menangis lagi, maafkan aku,”
Oik membuka matanya kembali, seakan kesadarannya kembali, dia segera menjauhkan diri dari dadanya Cakka dan menghapus sisa-sisa air mata di tepi matanya dan di pipinya.
“Besok setelah pemakaman, kita bertemu di kantor pengacara, ku harap kau tidak lupa dengan proposal yang diajukan kak Sivia tempo hari,”

***

Cakka turun dari SUVnya tepat di halaman sebuah gedung lebih tepatnya di kantor pengacara keluarga Oik. Dia segera memasuki kantor tersebut, dan segera menuju ke ruangan kantor pengacara tersebut. Sesuai permintaan Sivia dahulu, Cakka harus datang ke kantor pengacara sendiri tanpa membawa orang tua. Di tuntun oleh seorang pegawai Cakka masuk ke dalam ruang pengacara tersebut. Di dalam Oik bersama Mbok Sanah yang sedang menggendong lola telah berada di dalam.
Cakka duduk di samping Oik tepat di hadapan sang pengacara. Sang pengacara mengambil sebuah map yang berisi proposal yang di buat Sivia sebelum dia meninggal. Membukanya, dan menatap Cakka dan Oik secara bergantian.
“Kalian siap?, bisa saya mulai membacakannya?,” tanya sang pengacara.
Cakka dan Oik mengangguk secara bersamaan.
“Pada hari ini Senin tanggal tujuh April dua ribu dua belas, berhadapan dengan saya Mario Stevano Aditya Haling, Sarjana Hukum, Magister Hukum, advokat di Jakarta, penghadap bersama saksi-saksi yang akan di sebutkan pada akhir akta ini. Satu, Sivia Azizah lahir di Jakarta pada tanggal empat belas Pebruari seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan, Warga Negara Indonesia, Wiraswasta, bertempat tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jalan Pegangsaan Timur nomor tujuh puluh dua, Nomor Induk Kependudukan tujuh dua titik tujuh tiga dua enam titik lima empat kosong dua delapan tujuh kosong kosong dua satu, sebagai penghadap atau disebut juga pihak pertama menyatakan dengan ini mengajukan proposal kesepakatan kepada dua, Cakka Kawekas Nuraga, lahir di Bintaro pada tanggal delapan belas Agustus seribu sembilan ratus sembilan puluh dua, Warga Negara Indonesia, pelajar atau mahasiswa, bertempat tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jalan Imam Bonjol nomor delapan, Nomor Induk Kependudukan tujuh dua titik tujuh empat dua enam titik delapan belas kosong delapan sembilan dua titik kosong satu dua sembilan atau disebut juga pihak kedua, ada pun uraian proposal yang harus di penuhi oleh pihak kedua yaitu sebagai berikut, satu sehubungan dengan kritisnya dan tidak memungkinkannya pihak pertama, maka pihak pertama menghibahkan anaknya kepada pihak kedua untuk menjaga dan merawatnya selayaknya anaknya sendiri. Dua, apabila terjadi hal-hal yang tidak diingikan kepada pihak pertama atau meninggal maka pihak kedua berkewajiban mengurus, membiayai bahkan mengambil hak asuh atas anak dari pihak pertama dalam hal ini Lola Allison Sindhunata dikarenakan pihak pertama sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Tiga, pihak kedua tidak diijinkan untuk memakai jasa baby sitter dalam hal mengurus dan membesarkan Lola. Empat, pihak kedua diharuskan menjamin Lola sama seperti anaknya sendiri. Lima, sepeninggal pihak pertama, pihak kedua harus mengurus dokumen-dokumen yang menyatakan Lola sah menjadi anaknya di mata hukum. Enam, dikarenakan keluarga adik pihak pertama dalam hal ini Oik Cahya Ramadlani tidak ada lagi selain pihak pertama  dan Lola dan apabila pihak pertama sudah tidak ada dan Lola juga akan dialihkan hak asuhnya pada pihak kedua, maka Oik di wajibkan menggantikan pihak pertama sebagai Ibu dari Lola atau dengan kata lain menikah dengan pihak kedua...,”
“APA?!,” Cakka dan Oik sama-sama kaget, mereka melotot sejadi-jadinya lalu secara bersamaan berdiri.
“Sabar dulu Pak Cakka, Bu Oik, proposal ini belum selesai dibacakan, bisa bertanya setelah proposal ini selesai dibacakan,” kata Pengacara menenangkan Cakka dan Oik.
Cakka dan Oik duduk kembali sambil sesekali mencuri pandang dan bergidik ngeri membayangkan yang tadi diucapkan oleh pengacara.
Pengacara pun melanjutkan membaca proposal tersebut, “Tujuh, apabila pihak kedua melanggar atau tidak mau menuruti proposal ini, maka sesuai kesepakatan pihak kedua harus menempuh jalur hukum karena perbuatannya pada pihak pertama, delapan proposal ini juga adalah wasiat terakhir dari pihak pertama apabila nantinya terjadi hal yang tidak diinginkan, demikian proposal ini dibuat dan diresmikan di Jakarta sesuai dengan tanggal yang tertera pada awal proposal dan dengan dihadiri oleh saksi-saksi yakni, Nona Alyssa Saufika Umari yang adalah pegawai kantor advokat beserta Nyonya Khasanah saksi dari pihak pertama, segera setelahnya berturut-turut penghadap, saksi-saksi selanjutnya advokat membubuhkan tanda tangan di atas proposal ini, di langsungkan dengan tanpa suatu perubahan apapun, tertanda penghadap Nyonya Sivia Azizah, saksi satu Nona Alyssa Saufika Umari, saksi dua Nyonya Khasanah, dan advokat saya Mario Stevano Aditya Haling, selesai, ada yang mau bertanya?,” Pengacara itu selesai membacakan proposal yang diajukan Sivia, dan menghadapkan map itu kepada Cakka dan Oik untuk dilihat dan dibaca.
“Pak, kenapa Kak Sivia mewasiatkan saya untuk menikah dengan dia?,” tanya Oik sambil menunjuk Cakka.
“Saya tidak tahu hanya almarhumah yang tahu, yang pasti ini adalah wasiat terakhir sepatutnya dipenuhi oleh anda berdua,” kata Pengacara.
Cakka membaca berulang kali proposal yang ada dihadapannya itu, dia shock berat. Sekarang dia berhadapan dengan dua pilihan yang sangat sulit. Mengabaikan proposal ini yang pasti dia akan masuk penjara dengan rentang waktu yang sangat lama, atau menerima proposal ini menjadi ayah sekaligus mempunyai calon isteri yang ada di sampingnya itu diusianya yang masih muda? Dia belum 20 tahun. Kuliahnya belum selesai dan harus menjadi ayah? Yang benar saja?
Dua-duanya sama-sama akan mengekang kebebasan masa mudanya. Dan dua-duanya tetap akan merusak nama baiknya. Cakka si pembunuh atau Cakka yang punya anak di luar nikah haduh. Dua-duanya sangat membingungkan. Kenapa Sivia memberinya proposal seperti ini? Ini sangat konyol. Tapi dia telah berjanji pada Sivia dan Sivia sudah meninggal, dia berhutang pada Sivia.
“Bagaimana Pak Cakka? Jika setuju silahkan tanda tangan persetujuannya di bawah sini, beserta anda Bu Oik,” kata Pengacara.
“Hah? Dengan saya?,” tanya Oik sambil mengerenyit.
“Ya, soalnya nama anda tercantum di sini,” kata Pengacara.
Cakka dengan ragu mengambil pena dari dalam sakunya. Tangannya terasa kaku hanya untuk menorehkan tinta hitam di atas proposal tersebut. Setidaknya, kalau pembunuh sampai mati dia akan dicap orang-orang sebagai pembunuh, tapi kalau seseorang yang punya anak di luar nikah sekarang sudah agak lazim dan apabila dia menikah dengan Oik nanti cap itupun hilang. Tapi dia tak bisa membayangkan kalau harus menikah dengan Oik, seseorang yang tidak dikenalinya secara pribadi, bahkan tanpa cinta dan diusianya yang masih muda seperti ini. Cakka menarik napasnya sebelum akhirnya menorehkan tanda tangannya di atas materai 6000 pada proposal tersebut.
Pengacara itu menyodorkan proposal itu kepada Oik untuk ditandatangani, Oik meraih pena dan menandatangainya dengan hati-hati, setelah selesai Oik menghela napasnya dalam-dalam. It's gonna be a disaster...


Baca Selengkapnya >>>