Flirting Message
“Gue tahu ada sesuatu didalam hati lo yang lo sembunyiin... Hm, lo perlu coba yang satu ini,” Katanya sambil menulis sesuatu diatas origami, kemudian melipat origami tersebut berbentuk bebek-bebekan kertas.
Aku mengerenyitkan dahiku, berusaha meminta penjelasan kepadanya...
Dia segera menyerahkan origami ketelapak tanganku, “Tulislah masalah, keluhan, harapan, cita-cita atau apapun yang sedang berkelebat didalam hati lo diatas origami, terus bentuklah bebek-bebekan kertas dan kita sama-sama lepaskan mereka didanau, biarkan bebek-bebek itu bebas lepas tanda masalah atau keluhan lo bebas lepas, tapi jika itu harapan atau cita-cita yakinlah bebek-bebek itu pergi untuk kembali dan membawamu menggapainya,”
“Kenapa harus bebek? Kenapa nggak perahu seperti Kugy di novel perahu kertas? Kenapa nggak roket seperti film-film? Atau kenapa nggak diterbangkan lewat balon agar mencapai langit dan membawanya kepada Tuhan?,”
“Sebenarnya apapun bentuknya tetap satu tujuan melegakan. Bebek. Hm karena bebek itu adalah salah satu hewan dan hewan itu makhluk hidup, makhluk hidup ciptaan Tuhan, tidak seperti perahu, roket ataupun balon yang hanya merupakan ciptaan manusia, meski kita hanya membuat bebek-bebekan, dan kita ini manusia, akan lebih senang bila kita menjadi follower Tuhan bukan manusia, kau mau coba, Oi’oi?”
Itu... Terakhir kali kita bertemu... Dan hari itu berhasil mengubah segala hipotesisku tentangmu... Yang selama ini salah kusadari...
Prolog
“Oik!,” Bentak sebuah suara. Aku tersentak kaget mendengar suara tersebut. Suara guru fisika ku yang paling killer, bu Cintani. Aku hanya bisa menunduk tanda malu.
“Masa soal segampang ini kamu tak bisa menjawabnya?... Kau tahu ibu sudah mengulang pelajaran ini sebanyak tiga kali pertemuan, masa kamu tidak bisa juga? Makanya kamu jangan sibuk dengan tulisan-tulisan tak jelas yang kamu buat! Perhatikanlah apa yang ibu ajarkan! Ya sudah, kamu berdiri dipojok papan tulis dan Cakka boleh kamu kerjakan soal ini? Biar anak ini melihatnya!,” Kata bu Cintani.
Akupun dengan langkah gontai menuju pojok papan tulis dan berdiri disana. Seorang cowok dengan mata hazel dibalik kacamata minus tebalnya, rambut yang disisir sangat rapi, kerah baju yang dikancing sampai kebagian teratas, celana panjang abu-abu kaki kuda, dan sepatu kets biasa tidak ada bermodel dan tidak bermerk. Dari penampilannya aku yakin kalian semua sepemikiran 'dia ini anak terpintar dikelas' dan dia sangat membuatku kebakaran jenggot. Bagaimana tidak? Okay, aku akui otakku memang standard dan susah untuk menyerap pelajaran apalagi berhubungan dengan angka. Aku juga heran kenapa aku mau-mau saja saat mama dan papa menyuruhku masuk kelas IPA. Yang pasti Cakka, dia adalah bencana bagiku.
Pertama.
Waktu itu aku diberikan soal sama bu Nata, guru bahasa inggris untuk membuat kalimat positive tag-question. Dan memang dasarnya otakku lagi stuck karena baru putus dari pacarku yang seligkuh sama anak SMP. Jadinya, aku tidak bisa menjawabnya. Eh, Cakka langsung nyelonong menjawabnya.
“This is your ruler, is'nt it?”
Dari situ, bu Nata langsung memarahiku habis-habisan, mengangkat Cakka setinggi mungkin, menyuruhku supaya rajin belajar seperti Cakka. Yah, pokoknya sangat-sangat-sangat menjatuhkanku! Huh!
Kedua.
Dia mempermalukanku pada saat pelajaran kesukaanku bahasa indonesia. Padahal dia tahu kan kalau aku hanya bisa menonjol dipelajaran ini.
Saat itu, kita disuruh bu Annisa membacakan cerpen karangan kita didepan kelas. Aku dengan sangat percaya diri maju kedepan kelas dan membacakan cerpen yang kubuat. Setelah selesai membacakannya, saatnya teman-teman berkomentar, bu Annisa menunjuk beberapa teman-teman untuk berkomentar dan sebagian besar menyukai alur, plot dan gaya bahasa yang aku gunakan. Yang terakhir kali berkomentar adalah Cakka.
“Maaf sebelumnya, ceritanya memang bagus, tapi ada satu yang kurang yaitu rasa, nggak tahu kenapa aku nggak ikut menikmatinya, selain itu sependengaranku banyak kesalahan kata dan kaprah, misalnya mengernyit seharusnya mengerenyit, terus kenapa harus tak bergeming? Bukannya bergeming artinya berdiam, cocok kah kalimat berikut 'dia tak bergeming sedikitpun, hanya bisa menghadapi kenyataan pahit didepannya' agak rancu, ya itu sangat menganggu,”
Begitulah, aku sedikit tidak terima! Dan ingin melihat bagaimana karyanya. Siapa tahu lebih parah dariku. Namun, setelah dia membacakannya, aku tak bisa banyak protes. Sungguh! Sastra yang indah. Membuat nilainya lebih tinggi dari nilaiku. Awkward banget.
Tak cuma itu, masih banyak lagi kejadian yang berhubungan dengan pelajaran dan memalukan untukku karena Cakka! Apalagi guru-guruku yang sangat terlihat menyayanginya. Err.
Cakka maju kedepan dan tak sampai lima menit dia sudah menyelesaikan soal fisika yang super duper triple panjang rumusnya. Perasaanku berubah tidak mengenakan. Pasti sebentar lagi...
“Oik! Kamu lihat Cakka,” Kata Bu Cintani. Nah benar kan. “Kamu contoh Cakka, bisa nggak kamu jadi anak yang rajin belajar, peduli sama pelajaran-pelajaran sekolah... Blablabla,” Bu Cintani mulai dengan celotehanya yang membuatku muak dan hanya bisa memainkan bola mataku.
Baca Selengkapnya >>
Baca Selengkapnya >>